• Jelajahi

    Copyright © Kjb.Nusantara
    Berita aktual tepercaya

    Kanal Video

    Menyoal Alih Fungsi Hutan Lindung di Banten: Perspektif Regulasi dan Kebijakan Publik

    Rabu, 26 Februari 2025





    Oleh: Dr.Budi Ilham. (Akademisi dan Pemerhati kebijakan Publik)

    BANTEN KJBNUSANTARA.id- Dalam beberapa waktu terakhir, isu alih fungsi hutan lindung seluas 1.600 hektare di Kabupaten Tangerang kembali mencuat setelah adanya laporan terhadap mantan Penjabat (Pj) Gubernur Banten, Al Muktabar, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 


    Tuduhan yang diarahkan kepadanya berkenaan dengan dugaan konflik kepentingan dalam pengajuan alih fungsi hutan guna kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland. Namun, sebelum menjustifikasi tindakan Al Muktabar sebagai penyalahgunaan wewenang, penting untuk memahami aspek legalitas dan kebijakan yang melandasi tindakan tersebut.


    1. Kedudukan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Tata Kelola Kehutanan


    Dalam kerangka hukum, Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kewenangan pengelolaan kawasan hutan dan lingkungan hidup berada pada pemerintah pusat. Pasal 14 ayat (1) huruf l secara tegas menyatakan bahwa urusan kehutanan, kecuali yang telah didelegasikan kepada daerah, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Ini berarti, segala keputusan terkait alih fungsi hutan harus memperoleh persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bukan semata-mata merupakan keputusan individu kepala daerah, termasuk Pj Gubernur Banten.


    Lebih lanjut, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pejabat publik harus berorientasi pada kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat.


    2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan


    PP No. 23 Tahun 2021 mengatur tentang perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Pasal 51 menyebutkan bahwa perubahan status kawasan hutan dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan yang memiliki nilai strategis nasional, dengan mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi.


    Selain itu, dalam Pasal 54 dijelaskan bahwa perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan setelah adanya kajian mendalam dan usulan dari instansi berwenang yang kemudian diajukan kepada Menteri KLHK. Dalam konteks ini, Al Muktabar, selaku Pj Gubernur Banten pada saat itu, tidak memiliki kewenangan mutlak untuk memutuskan alih fungsi hutan. Perannya hanya sebatas mengusulkan kepada KLHK berdasarkan kajian teknis yang disusun oleh tim ahli. Sehingga, tuduhan bahwa ia bertindak secara sepihak tanpa landasan hukum menjadi tidak relevan.


    3. Proyek Strategis Nasional sebagai Faktor Pertimbangan


    Sebagai salah satu proyek yang masuk dalam daftar PSN, PIK 2 Tropical Coastland berperan dalam meningkatkan perekonomian daerah dan nasional. Dalam Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, disebutkan bahwa setiap PSN harus didukung oleh pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, pengajuan perubahan fungsi hutan lindung menjadi kawasan produksi harus dipahami dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan serta kepentingan investasi nasional.


    Dalam hal ini, Al Muktabar tidak serta-merta mengusulkan alih fungsi hutan tanpa dasar. Ada mekanisme panjang yang harus dilalui, termasuk kajian akademik dan persetujuan dari berbagai lembaga terkait. Jika ada kekurangan dalam prosedural administratif, hal tersebut seharusnya diselesaikan dalam ranah hukum administrasi, bukan dengan tuduhan korupsi yang prematur.


    4. Kesimpulan


    Berdasarkan analisis regulasi yang telah dipaparkan, tidak ada indikasi bahwa Al Muktabar melakukan penyalahgunaan wewenang dalam usulan alih fungsi hutan di Banten. Dalam konteks hukum administrasi, pengusulan suatu kebijakan yang berkaitan dengan tata kelola lingkungan harus dipahami dalam koridor prosedural dan wewenang yang berlaku.


    Jika ada keberatan terhadap kebijakan ini, langkah yang lebih bijak adalah melakukan audit administratif atau uji materi terhadap keputusan yang diambil, bukan dengan serta-merta mengkriminalisasi pejabat yang menjalankan tugasnya sesuai regulasi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih akademis dan objektif dalam menyikapi isu ini demi kepastian hukum dan pembangunan yang berkeadilan di Banten


    (Red).

    Kolom netizen >>>

    Buka kolom netizen

    Berita Terbaru