Oleh: KAMALUDIN.SE (AKTIFIS PEMERHATI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK)
KJB NUSANTARA.id Pelantikan pejabat eselon 2, 3, dan 4 di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten menjadi momen krusial dalam perjalanan reformasi birokrasi. Pergantian pejabat tidak sekadar soal rotasi jabatan, tetapi juga menjadi batu uji bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Gubernur terpilih Andra Soni dan Wakil Gubernur Dimyati. Keduanya datang dengan janji perubahan, tapi apakah janji itu akan diwujudkan atau hanya menjadi narasi kosong seperti rezim-rezim sebelumnya?
Banten tidak kekurangan jargon reformasi birokrasi, tetapi yang selama ini terjadi lebih sering berupa pergantian kekuasaan tanpa perubahan substansial. Praktik patronase dan intervensi politik dalam penempatan pejabat masih menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti sistem pemerintahan. Jika mutasi dan promosi pejabat masih didasarkan pada kedekatan dengan elite ketimbang kompetensi dan rekam jejak kinerja, maka publik berhak mempertanyakan komitmen pemerintahan baru ini.
Sebagai provinsi yang tengah berbenah, Banten seharusnya menjadikan merit system sebagai fondasi utama dalam manajemen ASN. Proses seleksi berbasis assessment center dan manajemen talenta seharusnya menjadi satu-satunya acuan dalam pengangkatan pejabat. Ujian assessment yang telah selesai pada 7 Februari 2025 lalu harus benar-benar menjadi dasar keputusan, bukan sekadar formalitas untuk melegitimasi kepentingan tertentu. Jika hasil assessment hanya dijadikan alat pembenaran untuk melanggengkan jaringan politik lama, maka perubahan yang dijanjikan tidak lebih dari ilusi.
Di tengah transisi kepemimpinan, peran Pj. Sekda yang juga menjabat sebagai Kepala BKD menjadi sangat strategis dalam memastikan seleksi berjalan sesuai prinsip profesionalisme. Namun, reformasi birokrasi tidak bisa hanya bergantung pada satu individu. Ini harus menjadi tanggung jawab kolektif, terutama bagi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang telah berjanji membawa perubahan. Jika mereka benar-benar serius membangun pemerintahan yang bersih, maka transparansi dalam seleksi pejabat harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, publik akan segera melihat bahwa yang berubah hanyalah figur, sementara sistem tetap bobrok seperti sebelumnya.
Diharapkan Manajemen Talenta harus benar-benar bisa dioptimalkan, kriteria-kriteria dari kualifikasi pendidikan, pangkat dan golongan, kinerja, riwayat jabatan hingga pada attitude (etika) bukan sekedar jargon atau retorika saja, publik saat ini sudah terlalu lama menantikan birokrasi yang bersih dan baik, dan selama ini juga publik terlalu banyak dipertotonkan akrobatik yang ditampilkan oleh para regulasi yang notabene ASN dengan berbagai ekspose pubik yang negatif.
Untuk itu, Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra-Dimyati, disarankan untuk tidak memainkan pola DUK; Daftar Urutan Kedekatan. Untuk itu peran Pj Sekda sebagai Ketua Tim Evaluasi Kinerja sangat penting dan menjadi jantungnya terhadap hasil dari Merit Sistem sebagai pondasi utama dalam manajemen ASN.
Lebih jauh, evaluasi kinerja pejabat yang terpilih juga menjadi aspek yang tidak boleh diabaikan. Pelantikan pejabat seharusnya menjadi awal dari komitmen terhadap pelayanan publik yang lebih baik, bukan sekadar pergantian kursi tanpa dampak nyata. Oleh karena itu, mekanisme reward and punishment harus diperkuat. Pejabat yang tidak mampu bekerja optimal harus dicopot, sementara mereka yang berkinerja baik harus diberikan ruang untuk berkembang. Tanpa itu, reformasi birokrasi hanya akan menjadi retorika tanpa makna.
Untuk itu, cerita lama dimasa era Gubernur-Wakil Gubernur, Andra Soni-Dimyati, harus diputus sampai disini. Cerita lama, dimana kebijakan seorang pejabat eselon 2 terkadang tidak menjadi atensi dan angin lalu bagi pejabat eselon 3 dan 4 dibawahnya, karena jabatan tersebut adalah bagian dari bin politik dan bin kekuasaan, dimana mereka lebih loyal dan mengabdi kepada yang telah merekomendasikan posisi jabatan mereka.
Adanya Merit System sebagai fondasi utama dalam manajemen ASN merupakan angin segar bagi ASN yang merasa dirinya selama ini tidak mempunyai gantungan politik dan sandaran kekuasaan untuk dapat membuktikan etos kerja dan kinerjanya dalam aplikasi pengabdian kepada Pemerntah dan masyarakat. Namun, lagi-lagi, apakah harapan ini bisa menjadi sesuatu yang nyata atau menjadi dongeng dari Negeri 1001 malam? ini menjadi pertanyaan yang tentunya akan dibuktikan pada proses kebijakan di tangan Gubernur-Wakil Gubernur, Andra Soni-Dimyati.
Pemerintahan Andra Soni-Dimyati harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar meneruskan kebiasaan lama dengan wajah baru. Publik menuntut transparansi dalam setiap tahap seleksi, akses informasi yang terbuka, serta jaminan bahwa tidak ada intervensi politik dalam keputusan akhir. Jika masih ada manuver-manuver di belakang layar, maka mereka tidak lebih dari pemain lama dalam skenario yang sama.
Pelantikan kali ini adalah momentum emas bagi Pemprop Banten untuk membuktikan bahwa era baru benar-benar dimulai. Jika merit system dijalankan dengan adil dan profesional, maka ini akan menjadi lompatan besar menuju birokrasi yang lebih baik. Namun, jika yang terjadi hanyalah pergantian aktor tanpa perubahan substansi, maka masyarakat harus bersiap menghadapi kekecewaan lagi.
Pada akhirnya, publik tidak akan tertipu oleh pidato dan janji-janji manis. Yang dibutuhkan bukan kata-kata, tetapi tindakan nyata. Apakah Andra Soni dan Dimyati benar-benar akan membangun birokrasi yang profesional dan beradab, ataukah mereka hanya akan menjadi bagian dari lingkaran oligarki yang terus menggerogoti pemerintahan Banten? Waktu akan menjadi hakim, dan rakyat akan mencatat setiap langkah yang mereka ambil.