KJB NUSANTARA.id Pandeglang, [Tanggal] – Sentrum Mahasiswa Banten (Sema Banten) mengecam sikap Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Pandeglang yang mengingkari kesepakatan akademis terkait transparansi pengelolaan keuangan daerah. Dalam audit akademis yang dilakukan, Sema Banten meminta BPKD untuk memberikan dan mempublikasikan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun 2023, 2024, serta DPA Tahun 2025 yang telah disetujui dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Namun, hingga saat ini, BPKD tetap tidak memberikan dokumen tersebut meskipun Sema Banten telah mengajukan permohonan resmi sesuai prosedur.
Aditia Iksan Nurohman, Presidium Wilayah Sentrum Mahasiswa Banten, menegaskan bahwa sikap BPKD ini menunjukkan adanya distorsi administratif yang berpotensi mengarah pada rezim keuangan yang tidak demokratis. “Ketika mekanisme formal telah dipenuhi, justru rezim birokrasi ini berkelit dengan dalih prosedural. Padahal, dalam prinsip hukum tata negara, transparansi adalah syarat fundamental dari good governance. Jika anggaran ini tetap disembunyikan, maka rakyat berhak mencurigai bahwa terdapat anomali dalam pengelolaannya,” tegasnya.
Iding Gunadi Turtusi, Pembina I Sentrum Mahasiswa Banten, menegaskan bahwa DPA Tahun 2023, 2024, dan 2025 yang telah disetujui dalam RKPD merupakan dokumen publik yang wajib dibuka kepada masyarakat. Keterbukaan dokumen ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi juga bentuk akuntabilitas yang memungkinkan publik untuk mengontrol penggunaan anggaran agar tidak terjadi penyalahgunaan keuangan daerah.
“Keterbukaan anggaran daerah telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menegaskan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan informasi yang bersifat terbuka, termasuk pengelolaan keuangan daerah.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menjalankan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mewajibkan transparansi dalam penggunaan keuangan daerah,” ungkap Iding.
Sema Banten menilai bahwa ketertutupan ini berimplikasi langsung pada buruknya pelayanan publik, terutama di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka rakyat berhak menggugat Pemerintah Daerah atas pelanggaran asas keterbukaan dan dugaan penyalahgunaan keuangan daerah.
Jika BPKD tetap tidak memberikan DPA Tahun 2023, 2024, dan 2025 yang telah disetujui dalam RKPD, maka patut diduga ada indikasi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah. “Ketertutupan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk epistemic injustice—pengingkaran hak masyarakat atas informasi publik. Jika rakyat tidak bisa mengakses informasi anggaran, maka demokrasi berubah menjadi oligarki fiskal yang menguntungkan segelintir elite birokrasi,” lanjut Aditia.
Atas dasar ini, Sema Banten menuntut:
1. BPKD Kabupaten Pandeglang segera memberikan dan mempublikasikan seluruh DPA 2023, 2024, dan 2025 yang telah disetujui dalam RKPD, sebagai bentuk kepatuhan terhadap prinsip keterbukaan informasi publik.
2. DPRD Kabupaten Pandeglang menjalankan fungsi pengawasan yang lebih ketat terhadap transparansi anggaran daerah.
3. Jika dalam waktu dekat tidak ada itikad baik dari BPKD, maka Sema Banten akan mengambil langkah hukum dan aksi kolektif untuk menuntut keterbukaan anggaran daerah.
Sebagai bagian dari kontrol sosial, Sema Banten akan terus mengawal isu ini. Transparansi anggaran bukan hanya perintah normatif, tetapi juga syarat moral bagi pemerintahan yang demokratis. Jika birokrasi tetap bertahan dalam labirin ketertutupan, maka demokrasi hanya akan menjadi fiksi administratif yang jauh dari nilai keadilan publik.(Am)